Kehidupan Ditemukan Dalam Ekosistem Terluas di Bumi, Jauh di Kedalaman Kerak Samudera
Kerak samudera bumi meliputi hamparan yang sangat luas, sebagian besar terkubur di bawah lapisan tebal lumpur yang memutusnya dari dunia luar. Para ilmuwan kini mendokumentasikan kehidupan dalam ekosistem besar yang sulit dijangkau ini, dalam kerak samudera yang tampaknya ditopang oleh energi yang dilepaskan dari reaksi kimiawi bebatuan dengan air.
Inti bor meluncur turun melalui sebuah pipa bor, membentang ke bawah dari kapal bor di atas permukaan laut, melintasi kedalaman air sejauh 2,5 km dan ratusan meter sedimen, menyeruak masuk ke dalam kerak samudera di lepas pantai barat Amerika Utara. Sementara itu, seorang ahli mikrobiologi, Mark Lever, berada di atas kapal riset JOIDES Resolution untuk meneliti sampel bebatuan yang diangkut dari kedalaman laut sebagai bagian dari Integrated Ocean Drilling Program.
Hasil dari studi Lever bersama rekan-rekannya ini dipublikasikan dalam jurnal Science, edisi 15 Maret.
“Kami memberikan bukti langsung pertama adanya kehidupan dalam kerak samudera yang terkubur jauh dari dasar laut. Temuan kami menunjukkan bahwa ekosistem yang luar biasa luas ini sebagian besar didukung oleh kemosintesis,” ungkap Dr. Lever, yang kini menjadi ilmuwan di Pusat Geomikrobiologi Universitas Aarhus, Denmark.
Energi dari Besi yang Tereduksi
Kita sudah tahu bahwa sinar matahari merupakan prasyarat bagi kehidupan di bumi. Organisme fotosintetik menggunakan sinar matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi bahan organik yang membentuk dasar rantai makanan di bumi. Kehidupan dalam bebatuan berpori di kerak samudera memiliki perbedaan yang fundamental. Energinya yang berperan sebagai pendorong kehidupan di sana, berasal dari proses-proses geokimia.
“Terdapat saluran-saluran kecil di dalam kerak samudera basaltik, dan air mengalir melalui saluran-saluran itu. Air itu mungkin bereaksi dengan senyawa dari besi yang tereduksi, seperti olivin, dalam basalt dan melepas hidrogen. Mikroorganisme menggunakan hidrogen sebagai sumber energi untuk mengubah karbon dioksida menjadi bahan organik,” jelas Dr. Lever,
“Sejauh ini, bukti adanya kehidupan pada kerak samudera yang terkubur jauh di kedalaman sana hanya didasarkan pada bahan kimia dan tanda tekstur pada bebatuan, namun kurang adanya bukti langsung,” tambah Dr. Olivier Rouxel dari institut Ifremer Perancis.
Biosfer Kita Diperpanjang
Kerak samudera mencakup 60 persen dari permukaan bumi. Dengan berpatok pada volumenya sebagai tolok ukur, menjadikannya sebagai ekosistem yang terbesar di bumi. Sejak tahun 1970-an, para peneliti telah menemukan ekosistem lokal, seperti sumber air panas, yang ditopang oleh energi kimiawi.
“Mata air panas terutama ditemukan di sepanjang tepi lempeng benua, di mana kerak samudera yang baru terbentuk bertemu dengan air laut. Namun, sebagian besar kerak samudera terkubur jauh di bawah lapisan lumpur, ratusan hingga ribuan kilometer jauhnya dari wilayah aktif geologis di tepi lempeng benua. Sebelum ini, kami tak pernah punya bukti adanya kehidupan di sana,” tutur Dr. Lever.
Meski ekosistem yang luar biasa besar ini mungkin berbasis pada hidrogen, berbagai bentuk kehidupan ditemukan di sini. Mikroorganisme pengoksidasi-hidrogen membuat bahan organik yang membentuk dasar bagi mikroorganisme-mikroorganisme lainnya dalam basalt. Beberapa organisme memperoleh energinya dengan menghasilkan metana atau dengan mengurangi tingkat sulfat, sedangkan yang lain memperoleh energi dengan memecah karbon organik dengan cara fermentasi.
Basalt Sebagai Rumah Mereka
Mark Lever adalah seorang spesialis dalam bidang organisme pengurang-sulfur dan penghasil-metana. Organisme-organisme ini ia pilih sebagai bahan penelitian di antara berbagai sampel yang diambil dari kerak samudera. Organisme-organisme ini mampu menggunakan hidrogen sebagai sumber energi, dan biasanya tidak ditemukan di dalam laut. Dr. Lever harus memastikan agar tak ada mikroorganisme luar yang menyusup akibat kontaminasi dari proses pengeboran, atau yang tanpa sengaja terbawa dari bawah laut hingga memasuki saluran basaltik.
“Kami mengumpulkan sampel bebatuan sejauh 55 kilometer dari tonjolan terdekat di mana air laut memasuki basalt. Di situlah air dalam saluran basaltik memiliki komposisi kimiawi yang secara fundamental berbeda dengan air laut, misalnya, tanpa ada kandungan oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis. Mikroorganisme yang kami ditemukan adalah asli dari basalt tersebut,” jelas Dr. Lever.
Kehidupan yang Aktif Atau Peninggalan Dari yang Mati?
Basalt yang ditemukan Dr. Lever tersebut berusia 3,5 juta tahun, namun kultur laboratorium menunjukkan bahwa DNA milik organisme-organisme ini bukanlah fosil. “Semuanya dimulai pada saat saya mengekstrak DNA dari sampel bebatuan yang sudah kami angkut ke atas. Yang sangat mengejutkan, saya mengidentifikasi gen yang biasanya ditemukan dalam mikroorganisme penghasil-metana. Kami kemudian menganalisis tanda kimiawi pada bahan bebatuan, dan pekerjaan kami dengan karbon isotop memberi bukti jelas bahwa bahan organiknya bukan berasal dari plankton mati yang terbawa air laut, melainkan terbentuk di dalam kerak samudera. Selain itu, isotop sulfur menunjukkan pada kami bahwa pendauran sulfur oleh mikroba telah terjadi pada bebatuan yang sama. Ini semua bisa saja tanda fosil kehidupan, tapi kami mengkulturkan mikroorganisme dari bebatuan basalt ke dalam laboratorium dan mampu mengukur produksi metana yang dihasilkan mikroba,” jelas Dr. Lever.
Dr. Jeff Alt dari University of Michigan, Ann Arbor, menambahkan, “Pekerjaan kami membuktikan bahwa mikroba berperan penting dalam proses kimiawi basalt, dan dengan demikian mempengaruhi kimiawi laut.”
0 komentar: