Sabtu, 12 Oktober 2013

Sel yang Ditemukan Dalam Otak Manusia Membuat Tikus Lebih Cerdas

"Kemampuan pengolahan kognitif kita yang rumit muncul bukan hanya karena ukuran dan kompleksitas jaringan kerja saraf kita, tapi juga karena peningkatan kemampuan fungsional dan koordinasi yang dihasilkan oleh glia manusia."

Sel-sel glia – suatu keluarga sel  dalam sistem saraf pusat otak manusia yang selama ini hanya dianggap sebagai “pembantu rumah tangga” – ternyata memiliki peran yang lebih besar pada kompleksitas otak manusia. Kesimpulan ini dicapai setelah para ilmuwan menstranplantasikannya ke dalam otak tikus, dan menyaksikan kemampuan kognitif tikus yang meningkat secara signifikan.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Cell Stem Cell ini, menunjukkan bahwa evolusi bagian dari glia yang disebut astrosit, mungkin merupakan salah satu peristiwa kunci yang menghasilkan fungsi kognitif lebih tinggi sehingga membedakan kita dari spesies lain.
“Penelitian ini menunjukkan glia tidak saja penting untuk transmisi saraf, tapi juga menunjukkan bahwa perkembangan kognisi manusia dapat merefleksikan evolusi bentuk dan fungsi khusus pada manusia,” tutur ahli neurologi University of Rochester Medical Center (URMC), Steven Goldman, MD, Ph.D., “Kami yakin ini adalah demonstrasi pertama yang menunjukkan bahwa glia manusia memiliki keunggulan fungsional yang unik. Temuan ini juga memberikan kita model dasar baru untuk menyelidiki berbagai penyakit neurologis yang mungkin melibatkan sel-sel tersebut.”
Dalam beberapa tahun terakhir ini para ilmuwan mulai memahami dan menghargai peran sel glia - khususnya astrosit - terhadap fungsi otak. Para peneliti di URMC menjadi pelopor dalam menyibak rahasia astrosit dan menunjukkan bahwa astrosit tidak saja berfungsi mendukung neuron dalam otak, tapi juga berkomunikasi dengan neuron dan sesama astrosit.
“Peran astrosit adalah menyediakan lingkungan yang sempurna untuk transmisi saraf,” tutur Maiken Nedergaard, M.D., M.D.Sc, penulis pendamping dalam studi, “Di saat yang sama, kami mengamati bahwa sel-sel ini telah berevolusi dalam kompleksitas, ukuran dan keragaman – sebagaimana sel ini ada pada manusia – fungsi otak menjadi lebih dan lebih kompleks.”
Pada gambar otak tikus yang sudah ditranplantasikan dengan sel manusia ini, memperlihatkan astrosit manusia dalam warna hijau. (Kredit: University of Rochester Medical Center)
Pada gambar otak tikus yang sudah ditranplantasikan dengan sel manusia ini, memperlihatkan astrosit manusia dalam warna hijau. (Kredit: University of Rochester Medical Center)
Manusia memiliki astrosit yang jauh lebih berlimpah, lebih besar, dan beragam dibandingkan spesies lainnya. Pada manusia, sebuah astrosit memproyeksikan sejumlah serat yang secara berkesinambungan dihubungkan dengan sejumlah besar neuron, khususnya sipnasis neuron, titik-titik komunikasi di mana dua neuron yang berdampingan saling bertemu. Akibatnya, sebuah astrosit manusia berpotensi untuk mengkoordinasi aktivitas ribuan sinapsis, jauh lebih banyak dari tikus.
Astrosit manusia mungkin berperan penting dalam mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas sinyal yang lebih kompleks dalam otak manusia, dan dengan demikian membantu mengatur fungsi kognitif yang lebih tinggi. Uji coba dalam studi ini menunjukkan bahwa, ketika ditransplantasikan ke dalam otak tikus, glia manusia dapat mempengaruhi pola yang mendasari aktivitas saraf otak.
“Dalam arti yang mendasar, kita berbeda dari spesies yang lebih rendah,” kata Goldman, “Kemampuan pengolahan kognitif kita yang rumit muncul bukan hanya karena ukuran dan kompleksitas jaringan kerja saraf kita, tapi juga karena peningkatan kemampuan fungsional dan koordinasi yang dihasilkan oleh glia manusia.”
“Saya selalu menemukan konsep bahwa otak manusia lebih handal karena kita memiliki jaringan kerja saraf yang lebih kompleks menjadi kemasan kecil yang terlalu sederhana, karena jika Anda menempatkan keseluruhan jaringan kerja saraf dan semua aktivitasnya menjadi satu, maka yang Anda hasilkan adalah super komputer,” ujar Nedergaard, “Namun kognisi manusia jauh dari sekedar pengolahan data, tapi juga [terdiri dari] koordinasi emosi dengan memori yang menginformasikan kemampuan kita yang lebih tinggi terhadap abstrak dan pembelajaran.”
Untuk menentukan apakah kemampuan unik otak manusia ini memang berasal dari sel glial, para meneliti mendampingkan sel-sel ini dengan sel-sel saraf normal pada tikus untuk melihat apa yang terjadi. Hal pertama yang dilakukan adalah mengisolasi progenitor glial manusia – sel dalam sistem saraf pusat yang memunculkan astrosit – dari jaringan otak. Mereka kemudian mentransplantasikannya ke dalam sel-sel otak bayi tikus. Seiring beranjak dewasa, sel glial manusia mengungguli persaingannya dengan sel asli tikus, dan pada saat yang sama meninggalkan jaringan kerja saraf dalam keadaan utuh.
“Sel-sel glia manusia ini pada dasarnya mengambil alih pada titik di mana hampir semua sel progenitor glial dan sebagian besar astrosit dalam tikus berasal dari manusia, dan pada dasarnya berkembang dan berperilaku sama seperti yang terjadi pada otak seseorang,” jelas Goldman.
Tim peneliti kemudian menguji dampak fungsional sel-sel ini bagi otak hewan, khususnya kecepatan dan retensi sinyal antara sel-sel dalam otak serta plastisitasnya – kemampuan otak untuk membentuk memori baru dan mempelajari tugas baru.
Mereka menemukan bahwa dua indikator fungsi otak yang penting secara drastis meningkat pada tikus. Pertama, ketika mengukur fenomena yang disebut gelombang kalsium – kecepatan dan jarak di mana sinyal menyebar di dalam dan di antara astrosit-astrosit yang sebelahan pada otak – para peneliti mencatat bahwa kecepatan transmisi gelombang pada tikus lebih cepat dibanding tikus biasa, dan lebih mirip dengan jaringan otak manusia.
Kedua, para peneliti juga melihat potensiasi jangka panjang (LTP), sebuah proses yang mengukur seberapa lama neuron dalam otak dipengaruhi oleh stimulasi singkat listrik. LTP dianggap salah satu mekanisme molekuler pusat yang mendasari pembelajaran dan memori. Dalam tes ini, para peneliti menemukan bahwa LTP dalam tikus mengalami perkembangan yang lebih cepat dan dan terus bertahan, menunjukkan kemampuan belajar yang lebih baik.
Atas dasar temuan ini, tim kemudian mengevaluasi tikus dengan serangkaian tugas perilaku yang dirancang untuk menguji daya ingat dan kemampuan belajar. Mereka menemukan bahwa tikus mampu belajar dengan lebih cepat dan mengerjakan berbagai variasi tugas dengan lebih cepat dibanding tikus biasa.
“Intinya, tikus yang menunjukkan peningkatan plastisitas dan pembelajaran dalam jaringan kerja saraf yang tersedia ini, pada dasarnya mengubah kemampuan fungsionalnya,” jelas Goldman, “Ini mengatakan pada kita bahwa glia manusia memiliki peran spesies-spesifik dalam kemampuan intelektual dan pengolahan kognitif. Sudah lama kami menduga bahwa hal ini mungkin terjadi, dan ini benar-benar menjadi bukti pertamanya.”
Para peneliti yakin bahwa model hewan yang mereka sebut ‘tikus chimeric glial manusia’ ini, kini menyediakan alat baru bagi komunitas medis untuk memahami dan menangani gangguan neurologis akibat kelainan glial. Hal ini mungkin sangat relevan bagi penyakit saraf dan neuropsikiatri yang lebih banyak terjadi pada manusia dibanding spesies lain. Pada gangguan ini, fitur-fitur astrosit khusus manusia mungkin berperan istimewa pada proses penyakit. Goldman, Nedergaard beserta rekan-rekan lainnya sudah memanfaatkan tikus-tikus ini untuk mempelajari berbagai gangguan neuropsikiatri dan neurodegeneratif manusia yang kemungkinan disebabkan patologi glial.

0 komentar: